Sabtu, 11 Maret 2017

"Anak Anak Bangsa Yang Mencintai Negaranya"


.
Indonesia - tanah air kita, yang sejak dulu kala selalu dipuja puja banyak bangsa.
(Tolong jangan membaca baris di atas sambil bersenandung, karena saya tidak sedang mengajak untuk bernyanyi. Hehe)
Jadi, maksud dan tujuan ulasan saya kali adalah guna membahas tentang 3 gadis pemanah berbeda suku dan daerah yang pernah membuat kita - bangsa Indonesia bangga menegakkan kepala di hadapan negara lain se-dunia di ajang Olimpiade International pada tahun 1988 (saya masih balita berusia 3 tahun saat itu → Abaikan!)
Saya mulai dari Yana - sosok gadis asal DKI Jakarta yang sangat antusias menjadi atlet panah putri mewakili Indonesia, tapi sangat disayangkan, ia mendapat tentangan sangat keras dari Ayah nya. Bagi sang Ayah yang pernah dikecewakan sangat mendalam oleh kesatuaannya - apa yang dilakukan anak semata wayangnya itu adalah hal sia-sia dan tidak berarti apa apa. Tidak berguna dan bukan membuat bangga, tapi membuang waktu dan energi juga kesempatan. Ayahnya hanya ingin Yana menyelesaikan skripsi dan lulus tepat waktu. Itu saja! Non Sense tentang berjuang untuk membuat bangga negara. Dan saya melihat kepedihan itu dalam diri Yana.
Akting @bclsinclair sebagai pemeran Yana, saya kasih two tumbs up! Ekspresi wajah saat membidik kan anak panah, kegigihan dan semangatnya untuk terus menguatkan rekan team, terlihat sangat meyakinkan. Dan entah bagaimana saya melihat ada keteguhan sosok Rania Samudera dalam film #JilbabTreveler #LoveSparksInKorea juga kebijaksanaan serta kelembutan sosok Hasri Ainun dalam film #AinunHabibie yang terbawa dalam peran ini. Heh he (Just In My Opinion)
.
Gadis kedua diperankan sangat baik dengan menggunakam logat Bugis yang nyaman didengar telinga oleh @tarabasro adalah Suma → sosok berpendirian tegas itu menghadapi dilema atas kondisi perekonomian keluarganya. Sebagai anak sulung, Suma menjadi harapan utama dan tulang punggung bagi kelanjutan pendidikan 3 orang adik yg masih usia sekolah. Di berhentikan dari pekerjaan sebagai penjaga toko demi memiliki waktu latihan, dan menolak kesempatan menjadi PNS demi mengikuti seleksi pelatnas yang belum tentu berhasil atau tidak.
Tekad Suma memberi yang terbaik untuk negara, membuat saya terharu.
.
Gadis ke tiga - Lilis asal Surabaya, diperankan dengan sangat apik oleh @chelseaislan. Jangan berharap bisa melihat ada jejak Illonna di #RudyHabibie dalam film ini. Chelsea benar benar total menjadi gadis Jawa dengan dialek medok dan kepolosan yang bikin saya ngakak ketawa.
Ya, gadis yang merupakan putri dari pasangan mantan atlet nasional itu memiliki konflik sendiri. Tuntutan yang tinggi dan latihan yang keras dari Ibunya membuat gadis itu tertekan. Juga urusan perjodohan dengan anak pengusaha yang sama sekali tidak disukai.
Ibu Lilis punya alasan menentang hubungan putrinya dengan salah satu atlet karate, yaitu karena menikah dengan sesama atlet itu tidak menjanjikan masa depan yang baik dan mapan.
Bukan kondisi yang baik bagi psikologis Lilis utk bisa lolos dalam seleksi menuju Olimpiade.
Tapi pertemuannya dengan dua rekan baru (Yana dan Suma) juga pelatih galak yang tanpa ampun, sampai satu peristiwa kecelakaan terjadi pada Ibunya, mengubah tekad gadis periang itu.
Sampai akhinya mereka pun berhasil tiba di Seoul, membawa nama Indonesia.
Ada secene yang membuat luber air mata - ketika Yana menyemangati teamnya dengan meneriakkan kata "Indonesia" di tengah kondisi kritis mental saat akhir pertandingan.
Dan ingatan pada semua kekecewaan rakyat atas ketidak berhasilan para atlet yang mereka lihat sebelum berangkat ke Korea,
Juga harapan serta janji yang mereka genggam utk mengobati semua kekecewaan rakyat, menjadi letupan energi yang membuat mereka mengangkat busur dengan penuh keyakinan.
Dan akhirnya...
Medali perak yang merupakan medali pertama bagi Indonesia sejak 30-an tahun kesertaan dalam Olimpiade - berhasil mereka bawa pulang.
.
Ah ya! Sosok yang tidak kalah penting dlm film ini adalah Bang Pandi - yang diperankan tentu saja dengan sangat cemerlang oleh Reza Rahadian.
Atlet panah yang disebut Robin Hood Indonesia - pernah mencatat rekor terbaik dunia dalam ketepatan hasil bidikan anak panahnya, harus berjibaku dengan konflik internal. Antara menyembuhkan "luka" yang membuatnya terpuruk dan "menghilangkan" diri, atau bangkit menjadikan luka itu sebagai batu pijak utk "melahirkan" generasi penerus cita-citanya.
Pernah gagal ikut olimpiade sebab urusan politik membuat Bang Pandi kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Saya sempat meraba "detak di balik iga kiri" untuk merasakan bagaimana tidak mudahnya berada dalam posisi Bang Pandi.
Pernah dilukai sangat dalam, lalu diminta untuk melatih team panah yg akan dikirim ke Olimpiade. Dan team itu - putri. Dua kesulitan menjadi tantangan besar yang harus dihadapi.
Akan tetapi demi negara ini - seperti yang dikatakan untuk memotivasi anak anak didikannya - seoarang Donald Pandiangan pun kembali turun ke lapangan.

Note - setelah tau alasan politik yang membuat Bang Pandi gagal ikut Olimpiade ke Moscow.
Saya merasa mendukung pemerintah saat itu.
Karena hal tersebut terkait dengan urusan kemanusian.
(Tidak menerima debat dan protesan. Hanya pendapat pribadi saya. Saya bukan tidak mendukung para atlet yang mau berjuang utk negara. Ini hanya tentang pilihan atas dua kondisi yang berlawanan)

Hal terbaik film ini adalah...
Nilai nasionalisme yang kuat tergambar dalam upaya mereka untuk mengharumkan nama Indonesia dimana saat itu benar benar sedang terpuruk.

Well...
Jangan lewatkan..!!
Please Suport This Movie...
Untuk Indonesia...

Salam Anak Bangsa




___ Mataram, 9 Agustus 2016

Jumat, 10 Maret 2017

"Mimpi Mimpi Kita, Na..."


»
Pernah dalam banyak waktu yang kita sulam bersama,
Diantara letih di hati,
Dan lelah di raga,
Kita bersandar pada bumi dan menengadah langit,
Melukis gemintang dengan imaji,
Menjadi sketsa tempat terbaik yang ingin kita tuju,
Lalu kita tertawa,
Membayangkan semangkuk mie instan dengan telur menyerupai mata sapi,
Saat Hanami...
Kemudian kita saling melempar bola-bola salju di musim yang lainnya,
Dan kau menyelimutiku yang tertidur diantara tumpukan buku-buku,
Pada musim ujian semester kampus impian kita...
Perpustakaan megah dengan sejuta judul buku,
Menjadi tempat yang kita sepakati,
Untuk menghabiskan waktu bersama paling lama,
Selain gunung-gunung dan pantai yang pernah kita sambangi.

Segaris senyum diam-diam,
Mengirim purnama yang dipenuhi cahaya do'a,
Melintasi masehi demi masehi...
Berkali-kali,
Tanpa jera...
Karena kita tidak pernah lupa,
Pada dua gadis kecil di pinggir rel kereta yang melegenda,
Mereka yang pertama kali mengajari kita, tentang keberanian bermimpi.
"Suatu saat nanti, Dear..."
Aksaramu terus menyemai harapan.
Dan aku percaya...
»
»
Sunisa Fuji
(Rabu, 8/2/20017)


Pict from Kagaya

»» La, "Bumi" Dimana Aku Berpijak ««



"Berhentilah untuk selalu terlihat kuat, tidak ada yang salah dengan meneteskan air mata..."
Seperti itu kau mengurai sesak didadaku,
Dan bahumu yang bumi,
Menjadi pijakan bagi kesadaranku yang rumit.

Tidak mudah untuk memahami kepelikan ku,
Dan kau satu diantara yang tidak berusaha untuk melakukanya,
Sederhana saja bagimu,
Sekotak brownis yang kau kirim pagi hari,
Tas rajut sewarna langit cerah hasil karya pertama,
Juga syal benang wol yang kau hadiahkan berkali-kali,
Tapi selalu "ku hilang" kan,
Menjadi gurat demi gurat cinta yang kau hadirkan,
Untuk membersamaiku...
"Tan kenapa? Cerita dong.... Aku ga janji ada solusi, tapi aku sediakan waktu untuk mendengarkan...."
Selalu begitu,
Dan luruhlah separuh beban,
Sebab aku tak sendiri...
Rumus kehidupan yang aku gunakan seringkali melewati batas "rasa kemanusiaan"
Dan kau tau,
Aku hanya butuh segaris senyum dalam kata-kata seringan angin ;
"Tidak apa-apa..."
Begitu saja...
Lalu tawa-tawa kita,
Disela air mata...
Dear, La....
"Aku pernah iri pada mereka yang memiliki saudara perempuan dan menjadi sahabat..."
Tapi aku bersyukur,
Karena Tuhan Maha Baik,
Memberiku sahabat yang menjadi saudara...
»
»
With Love
(Sunisa Fuji, 8/2/2017)

"Catatan Kaki Panjang"



"Yang dirindukan gunung yang di sana, yang ditanjakin gunung yang di sini..."
(bukan kejadian yang kekinian)

Foto ini tidak ditujukan untuk pencintraan atau penokohan perempuan kuat dan tangguh. Hanya dokumentasi ketika saya melakukan "Test The Carrier" untuk mengukur kapasitas dan kemampuan diri serta reaksi fisik saya terhadap beban itu. Dan tentu saja meski tubuh sudah menggunakan energi maksimal, tetap saja gerakan saya terhuyung-huyung untuk bisa bangkit berdiri seperti ini. Saya mencoba beberapa belas langkah menuruni bukit dan rasanya seperti hendak didorong jungkir balik. Jadi saya menyerah saja untuk kemudian memindahkan tas gunung beserta seluruh isinya tersebut ke punggung yang lain.
Kapasitas saya hanya mampu membawa beban seberat itu beberapa ratus meter di jalur datar dari anak tangga pertama kaki bukit sampai rumah penduduk tempat penitipan kendaraan.
Tapi dipengalaman beberapa ratus meter inilah saya mendapatkan sebaris catatan yang saya simpan jadi perenungan (sok aja merenung)
Berhubung jalanan yang dilewati sedang ditata dan dirapikan oleh penduduk setempat, maka penampakan saya yang melintas di depan mereka menjadi perhatian. Sebagian berkomentar "betapa hebat dan tangguhnya saya", sebagian lagi mengkritisi "betapa tega dan tidak punya hati kawan laki-laki rekan pendakian yang membiarkan saya membawa carrier sebesar dan seberat itu, sedangkan rekan saya hanya membawa Day pack 35 liter saja", bahkan ada juga yang kasian dan (mungkin sekedar basa-basi) menawarkan bantuan untuk membawakan barang di punggung saya.
Tentu saja komentar dan pandangan seperti itu membuat saya tersenyum cenga-cengir malu, karena cukup tau diri. Jadi beberapa kosa-kata sanggahanpun saya lontarkan untuk menjelaskan yang sebenarnya.
"Saya cuma bawa ini dari kaki bukit, kok... Tadi yang bawa turun, dia (nunjuk teman)"
Ada yang merespon tertawa (mungkin maklum), ada yang terdengar mendengungkan kosa-kata tidak jelas (mungkin kecele), tapi ada juga yang tetap ngotot menganggap saya "kecil-kecil keren".
Ya sudahlah...!!
Saya tidak ada kepentingan apapun dengan anggapan orang lain atas keputusan untuk membawa carrier saya sendiri.

Pelajaran moralnya :

"Manusia begitu mudah mengagumi dan mencaci, tanpa mau tau atau bertanya apa yang terjadi di balik apa yang mereka lihat dan temui. Banyak orang yang kemudian marah karena merasa ditipu, padahal tak ada sesiapa yang menipu. Orang-orang sering kali kecewa atas dugaan mereka yang salah, mereka lebih suka mempercayai apa yang mereka pikirkan dari pada kenyataan yang mereka dapatkan"
Begitulah....



____ Mataram, Desember 2015

"Rinjani Kali Ini Tanpamu, Na…"




Meminjam kosa kata dari Soe Hoek Gie
“aku merasa melankoli kali ini”
Menapak jalanan padang savana sepanjang gerbang masuk hingga pos III,
Deretan cemara dan kabut track Padabalong,
Gigil malam di ceruk tebing Pos II,
Aku merindukanmu, Na…

Edelweiss pertama yang ku sapa saat tiba di Pelawangan,
Area Camp untuk menanti senja yang kita sebut “Negri Di Atas Awan”
Aku mengingatmu, Na…

Ketika senja menyapa dengan binar yang selalu menjadi “Rindu Kita”
Serta senyum ramah rekan-rekan pendaki yang berebut moment,
Tamu-tamu mancanegara yang pamer kemesraan dengan pasangan masing-masing
Pernah membuat kita iri…
Kau ingat, Na?
Dan kitapun berazam janji “suatu saat nanti kita akan lebih mesra dari mereka dengan kekasih halal kita”
Dan kitapun tertawa…

Malam di Pelawangan kali ini minus 3 derajat kata para guide, Na…
Dan beku mulai terasa saat waktu isya’ masih muda
Kau biasanya berbaring disisiku dalam tenda mungil kita
Sambil bersenandung kau mengajakku mengintip taburan bintang dari celah angin
Tapi kali ini sedang purnama
Dan sebelum empat rakaat tadi aku mengabadikan tarian api yang meliuk di pegunungan kampung di bawah sana…

Beranjak dini hari dan perjalanan puncak di mulai
Genggamanmu yang menguatkan saat kita berdiri melingkar melafal do’a
Aku membutuhkanmu, Na…
Seperti biasa untuk menghalau jauh rasa gentar di sudut hati
Mengingat beratnya perjalanan yang menguji keteguhan di Jalan Guguran

Menghimpun semua lukisan wajahmu yang tersenyum penuh keyakinan tertuju untuk ku
“kau pasti bisa, Nis!”
Kurasakan semangat tanpa ruang pilihan selain “harus sampai puncak”
Mengalir diseluruh aliran darahku
Berdetak dengan satu kalimat favorit kita
“Jangan Menyerah, Karna Kita Adalah Maha karya Yang Merahasiakan Potensi Tak Terbatas. Pasti Bisa! GAMBARIMASHO!”

Langkah pertamaku terasa begitu ringan, Na…
Bahkan jaket tambahan hanya aku simpan dalam ransel bekal
Senyummu memenuhi benakkku, berenergi – menghangatkan

Punggungan terlewati tanpa hambatan meski ceruk-ceruk itu banyak yang tak ku kenali lagi
Subuh tiba tepat dimana kita pernah berdiri, rukuk dan sujud bersama
Ingin mengulangnya lagi dan lagi bersamamu, Na…

Dan akupun berhasil berdiri di puncak, Na…

Semesta diri dan jiwaku bertasbih dalam sujud syukur yang cukup panjang
Menyapu pandangan pada segala yang terlihat indra
Menghirup udara pagi yang masih gigil
Meresapi sinar mentari yang mulai beranjak dhuha
Dan kau tau betapa narsisnya aku, Na…
Meski kenarsisanku masih dikalahkan oleh gerak refleks tanganku yang lebih mementingkan mengabadikan apa yang tertangkap lensa kamera
Aku benar-benar membutuhkanmu untuk menjadi model sekaligus fotograper terbaik menggantikanku
Aku tersenyum untuk job kecil itu…

Na…
Danau, Na…
Bening dan tenang mengingatkan ku pada wajahmu yang selalu meneduhkan didihku
Anak Gunung Baru sedikit berubah wajah sejak erupsi dua tahun lalu,
Air terjun Kalaq dimana kita berendam dengan air panas disisinya kali ini hanya berupa aliran irigasi
Sendu, Na…
Tapi kau tau, Segare Anak kita tetap indah dan memukau
Karna kau, aku…
Kita…
Kenangan itu menjadikannya tetap indah…

Pagi dengan segelas sereal di bibir danau,
Kali ini aku tak cukup waktu untuk mengunjungi Cikar Rarat dan Gua-gua eksotis itu, Na…
Tapi aku merasa cukup

Track senaru masih seterjal dulu
Tapi kini ada tangga, Na…
Tangga…
Dan aku tertawa mengingat mimpimu tentang Eskalator
Ada-ada saja

Puncak Senaru ada pagarnya, Na…
Sedikit mengusik hasil kamera
Tapi tak apa
Ada monument kecil TNI,
Aku membayangkanmu berdiri tegak dengan tangan terkepal dan merah putih berkibar di atasnya
Pasti pas dengan semangatmu yang seperti api abadi PON
Aku tertenduk
“Masihkah kau seperti yang aku ingat, Na?”

Menelusuri terowongan pepohonan hutan tropis hingga jelang magrib
Kali ini aku tak berminat lagi pada semua nama latin yang tertempel di setiap batang pohon
Tanpamu tak ada rival untuk menghafal, Na…
Hingga ku akhiri Ekspedisi kali ini dengan kaki terseret dan bengkak di ujung jari
Aku sungguh merindukanmu melewati ini semua
Bersama…
Rinjani kali ini tanpamu, Na…
Tetap indah bersama kenangan kita.

Kau, masih mencintai Rinjani kita seperti hal nya kau mencintaiku kan, Na?

*** Mataram, 5 September 2012***

"we are just human being"


Ini adalah kalimat pertama yang melekat dan terasa menyentak ruang kesadaran tentang bagaimana kita saling melihat sebagai manusia.
Adalah seorang "Meninao" yang memilih jalan sebagai kru kapal pesiar untuk bisa mewujudkan mimpinya menapaki setiap sisi belahan bumi, menjalani proses pembelajaran dan pendewasaan, memaknai arti bangkit dan bertahan dari kelimpungan serta ketidak jelasan arah hidup.
Kita __ sebagian mungkin hanya tau tentang gemerlap hidup orang-orang dalam bangunan besi megah selayak istana terapung itu.
Lalu mencibir betapa hedonisnya, mereka.
Dan kita _ sebagian mungkin lebih mencibir lagi ketika menoleh pada orang-orang yang kita sebut kacung/jongos dan entah sebutan rendahan lainnya yang berada dalam kapal megah tersebut. Berpikir betapa sangat disayangkan memiliki fisik yang good looking, otak yang cerdas, kemampuan komunikasi yang mumpuni, dan ijazah universitas kalo kemudian hanya akan menjadi pelayan bagi orang-orang kaya yang tak punya hati. Belum lagi kabar-kabar negatif tentang ruang pergaulan yang membuat "merinding", seolah kehidupan kapal adalah sesuatu yang patut untuk dihindari dengan kalimat "na'uzubillaah".
Ya!
Saya ingat pernah akrab dg salah satu teman sekolah yang kerja di kapal pesiar. Kemudian begitu banyak warning yang saya terima untuk "sebaiknya" menjauh dari teman saya itu dengan dalil "seseorang dilihat dengan siapa ia berteman".
Meski tak bisa membantah, tapi bagi saya itu sangat menyedihkan.
Buku "Traveler @Sea" tidak sekedar bercerita tentang dingin dan betapa mengagumkannya kehidupan liar yang sepi di Alaska serta keanekaragaman kehidupan lain yang ditemukan di tiap negara yang disinggahi. Tapi juga membuka hati, membuka pikiran, memberi tahukan pada kita bahwa mereka juga manusia seperti kita. Memiliki sisi kehidupan yang juga baik dan bijaksana.
Membaca buku ini, seperti menonton sebuah film dokumentasi perjalan yang sangat apik, tersampaikan dengan bahasa yang ringan dan santai, tapi memberi pembelajaran hidup yang dalam.
Bagi sahabat yang ingin menambah wawasan tentang dunia "lain" dari apa yang selama ini kita temui dan jalani..
Buku ini sangat recomended untuk dibaca.
Dan bisa lansung memesan serta berkenalan dengan penulisnya yang baik hati dan asik banget, :")


____ Mataram, 6 Februari 2015

"Menyampaikan Dengan Indah, Menegur Dengan Baik"


(Catatan dari nonton bareng film Kalam-Kalam Langit)


Film Kalam Kalam Langit diangkat berdasarkan draf 1 skenario yang ditulis oleh Bapak Anas Bakri, kemudian seiring waktu hasil riset lapangan, maka ditulis kembali oleh Faozan Rizal menjadi skenario utuh yang difilmkan. Lalu oleh salah satu sastrawati Indonesia _ Mama Pipiet Senja, dijadikan dalam bentuk novel.
Dalam film ini diceritakan tentang seorang santri dari Lombok bernama Jafar, yang memiliki suara indah saat membaca Al-Qur'an. Ia terlahir dari seorang Ibu yang pernah menjadi qori'ah (pembaca Al-qur'an dengan lantunan indah) tingkat nasional. Dan Jafar mewarisi kemampuan sang Ibu.
Suatu hari, Jafar kecil memenangkan lomba mebaca Al-qur'an yang lebih dikenal dengan Lomba MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur'an) ditingkat pesantren. Tapi sayangnya sang Ayah sama sekali tidak gembira dengan prestasi putranya. Ia bahkan sangat marah dan mengingatkan Jafar untuk jangan pernah lagi mengikuti lomba yang dianggap pamer dan menjual ayat-ayat suci.
Hingga Jafar dewasa, tak pernah sekalipun ia berani mengikuti lomba MTQ lagi. Meski banyak yang memintanya.
Sampai suatu hari, Kiai pemilik pondok pesantren dimana Jafar nyantri, memberinya penjelasan bahwa mengikuti perlombaan membaca Al-qur'an itu adalah bagian dari Syi'ar Agama.
Dalam salah satu firman Allah yang dibacakan sang Kiai, ada ayat yang menyebutkan bahwa Al-qur'an itu dimudahkan, dianjurkan untuk dibaca dengan tartil (suara yang indah, penyebutan huruf yang benar dan intonasi yang tepat) agar bisa dengan mudah menyentuh hati tiap orang yang mendengarnya.
Setelah mendapat penjelasan tersebut, Jafar pun bersedia mengikuti lomba MTQ.
Sayangnya, tepat sebelum proses seleksi, Sang Ayah mengalami sakit keras. Tapi Jafar tdk memiliki biaya untuk membawa Ayahnya ke Rumah Sakit. Lalu seorang Ustadz yang selama ini mengincar putri Sang Kiai, yang juga merupakan calon peserta yang akan menjadi saingan Jafar untuk menjadi perwakilan pesantren, memanfaatkan kondisi sulit itu dengan memberi pinjaman uang biaya perawatan bagi Ayah Jafar dengan syarat harus mundur dan lomba.
Maka, demi sang Ayah, Jafar pun menerima tawaran tersebut. Tapi hal yang sangat mengharukan terjadi. Diantara rasa sakit yang berusaha ditahan, Ayah Jafar justru menegur putranya agar jangan mau dibeli oleh siapapun. Ia tetap menginginkan sang anak mengikuti lomba MTQ yang selama ini selalu ditentangnya. Dengan satu catatan : "Bacalah dengan nama Tuhan mu..."
Dengan berurai air mata, Jafar kembali ke pesantren dan mengembalikan uang yang dipinjamkan oleh "rivalnya" tersebut. Dan tepat disaat Ia melantunkan ayat-ayat Al-qur'an dari Surat Arrahman (yang banyak mengingatkan kita tentang rasa syukur) di atas panggung, sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya.
Peristiwa itu membuat Jafar sangat terpukul. Tapi kehadiran seorang sahabat perempuan yang selalu membersamai sejak kecil dan dukungan paman Jafar yang sangat peduli padanya, terus memberi motivasi untuk meluruskan niat dan mengikuti lomba hingga tingkat nasional. Tak peduli meski putri sang Kiai yang pernah dicintai dan menikah dengan ustadz yang merupakan "rival" dalam lomba MTQ, memohon agar Jafar mengundurkan diri lagi demi memenangkan suaminya.
》》 Film ini sarat dengan pesan moral, menegur para pelaku "makelar penjual agama" dan menyampaikan kebaikan dengan cara yang indah.
Tidak dipungkiri bahwa kasus penyimpangan dalam event religius terbesar seperti MTQ sering terjadi dan dilakukan oleh segilintir oknum tertentu. Begitu juga dengan niat para peserta lomba.
Dan melalui tokoh-tokoh cerita dalam Kalam Kalam Langit inilah, sang penulis mengigatkan untuk terus meluruskan niat serta tindakan kita dalam menyampaikan kebaikan dan melakukan kebenaran.
Selain itu, ayat-ayat Al-qur'an serta setting lokasi dalam film ini juga banyak sekali menyentuh hati kita atas rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Maka, bacalah semesta yang terbentang ini dengan hati kita. Resapi dan maknai dengan rasa syukur yang mendalam. Lalu ceritakan semuanya dengan Indah. Iringi tiap laku dalam kehidupan kita dengan tindakan-tindakan yang baik dan benar.
Demikianlah...
》》
Yang mau mendapatkan novelnya bisa lansung menghubungi penulisnya, Mama Pipiet Senja.
Atau mencari di toko buku masing-masing kota...
Semangat menebar kebaikan!!     


____ Mataram, 5 Maret 2016